LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI
TUMBUHAN
“Pematahan Dormansi Biji”
Oleh :
Nama : Siti Rosida
NIM : 140210103019
Kelas/Kelompok : A/1
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
I.
Judul
Pematahan
Dormansi Biji
II.
Tujuan
Untuk
mengetahui pengaruh cara pematahan dormansi pada biji berkulit keras dengan
fisik dan kimiawi.
III.
Dasar
Teori
Ketika tumbuhan berada dalam kondisi
yang menguntungkan, tumbuhan tersebut akan melakukan penundaan terjadinya
pertumbuhan dengan beristirahat dan akan melanjutkan pertumbuhannya jika
kondisi lingkungan mendukung dan memungkinkan. Biji mengalami masa dormansi
dikarenakan beberapa penyebab, antaralain: impermeabilitas kulit biji terhadap
air dan gas, belum matangnya embrio, tingkat ketahanan kulit biji terhadap gaya
mekanik, kandungan zat penghambat dan jaringan yang terdapat di dalam biji,
kebutuhan khusus terhadap penyinaran matahari dan kebutuhan pada suhu dingin
(Utama, 2005: 142).
Hormon yang berperan dalam dormansi biji
adalah hormon asam absisat (ABA). Hormon ini dihasilkan pada tunas terminal dan
berperan dalam memperlambat pertumbuhan dan mengarahkan bagian primordia daun
untuk mengalami perkembangan menjadi sisik yang nantinya berfungsi untuk
melindungi tunas yang mengalami dormansi pada musim dingin. Hormon asam absisat
juga berperan dalam menghambat pembelahan sel pada kambium pembuluh. Biji akan
melakukan perkecambahan ketika asam absisat dihambat dengan cara membuatnya
tidak aktif. Biji memerlukan cahaya atau stimulus lain untuk memicu perombakan
asam absisat. Untuk mematahkan dormansi biji dapat juga dilakukan dengan
meningkatkan hormon giberelin, sehingga rasio asam absisat terhadap giberelin
dapat menentukan apakah biji tersebut akan tetap dorman atau mengalami
perkecambahan (Campbell, 2000: 386).
Untuk mempercepat proses pemecahan
dormansi pada tipe benih berkulit tebal dan keras harus dilakukan beberapa cara
salah satunya dengan cara merendam benih dalam larutan kimia seperti asam
sulfat (H2SO4), asam klorida (HCl), dan hidrogen peroksida (H2O2). Larutan asam
kuat seperti H2SO4 sering digunakan dengan konsentrasi yang bervariasi sampai
pekat tergantung jenis benih yang diperlakukan. Lamanya perlakuan larutan asam
harus memperhatikan dua hal yaitu kulit biji atau pericarp yang bisa diretakkan
untuk memungkinkan imbibisi serta larutan asam tidak mengenai embrio yang
menyebabkan benih rusak total (Satya, 2015: 1376).
Bila penyebab terjadinya dormansi adalah
embrio benih disebut dormansi fisiologi, sedangkan bila penyebabnya kulit benih
disebut dormansi fisik. Penyebab dormansi fisik dan dormansi fisiologi dapat
dijumpai pada berbagai spesies, tetapi ada spesies yang mempunyai dormansi
ganda. Dari semua perlakuan pematahan dormansi secara fisik yang dicoba
ternyata skarifikasi (dengan kertas amplas) adalah cara yang cocok untuk
mematahkan dormansi benih aren, sebab mampu mempercepat proses perkecambahan
(43 hari setelah ditanam) dan mempunyai daya berkecambah yang tinggi yaitu
79,41 % (Hartawan, 2016).
Umumnya perlakuan pematahan dormansi
diberikan secara fisik, seperti skarifikasi mekanik dan kimiawi. Skarifikasi
mekanik meliputi pengamplasan, pengikiran, pemotongan dan penusukan bagian tertentu
pada benih. Kimiawi biasanya dilakukan dengan menggunakan air panas dan
bahan-bahan kimia seperti asam kuat (H2SO4 dan HCl), alkohol
dan H2O2 yang bertujuan untuk merusak atau melunakkan
kulit benih (Kartika, 2015: 49).
Benih asam jawa merupakan benih ortodok,
sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Benih ortodok dapat
dikeringkan sampai kadar air rendah 5-10 % dan dapat di simpan pada suhu serta
kelembaban penyimpanan yang rendah tanpa menyebabkan penu-runan viabilitas. Umumnya
benih ortodok mengalami masa dormansi, yaitu masa dimana benih tidak dapat
berkecambah dengan segera meskipun berada pada ling-kungan yang sesuai bagi
perkecambahannya. Dorman pada benih asam jawa merupakan dormansi fisik. Kulit
benih yang impermeabel menjadikan benih sulit untuk dimasuki oleh air saat
proses imbibisi. Oleh karena itu, benih asam jawa memerlukan perlakuan untuk mematahkan
dormansinya. Perendaman H2SO4, KNO3, dan asam
giberelin merupakan perlakuan kimia yang dapat mematahkan dormansi benih. Kulit
benih yang keras bersifat impermeabel terhadap air dan udara sehingga
menghalangi proses perkecambahan benih (Astari, 2014: 805).
Perkecambahan merupakan suatu proses
saat biji tumbuh dan berkembang. Faktor yang sapat mempengaruhi perkecambahan,
yaitu air, temperature, dan cahaya. kekurangan air dapat menyebabkan biji gagal
berkecambah, sedangkan air yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan biji
menjadi busuk. Temperatur yang optimum untuk perkecambahan biji berkisar 25 –
30o C. Temperatur yang terlalu rendah dapat mengakibatkan
perkecambahan terlambat terjadi. Sementara itu, temperatur yang tinggi dapat
mengakibatkan biji rusak dan gagal berkecambah. Umumnya biji berkecambah lebih
baik jika mendapatkan penyinaran yang cukup. Penyinaran yang rendah dapat
mengakibatkan etiolasi (pemanjangan batang) dan menurunkan kemampuan hidup
bibit setalah pindah tanam. Sebaliknya, penyinaran yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan biji menjadi rusak (Harjono, 2007).
IV.
Metode
Pengamatan
4.1 Alat
dan Bahan
4.1.1 Alat
a. Beaker
glass
b. Petridish
c. Kertas
ampelas
4.1.2 Bahan
a. Biji
asam atau biji lain yang berkulit keras
b. Asam
sulfat pekat
c. Air
d. Kertas
hisap/kapas
4.2 Prosedur
Kerja
V.
Hasil
Pengamatan
Kelompok
|
Perlakuan
|
Biji yang tumbuh
|
Keterangan
|
1
|
Kontrol
Kimia
Mekanik
|
1
0
10
|
3 pecah, 6 utuh
7 pecah, 3 utuh
-
|
2
|
Kontrol
Kimia
Mekanik
|
8
4
10
|
2 utuh
6 utuh
-
|
3
|
Kontrol
Kimia
Mekanik
|
0
3
10
|
10 utuh/tidak tumbuh
6 utuh, 1 pecah
-
|
4
|
Kontrol
Kimia
Mekanik
|
4
2
9
|
4 pecah, 2 utuh
5 pecah, 3 utuh
1 pecah
|
5
|
Kontrol
Kimia
Mekanik
|
0
0
10
|
10 utuh
9 utuh, 1 pecah
-
|
6
|
Kontrol
Kimia
Mekanik
|
0
3
10
|
1 pecah, 9 utuh
7 utuh
-
|
Prosentase
Perkecambahan
1. Kontrol =
2. Mekanik =
3. Kimia =
VI.
Pembahasan
Benih dikatakan dormansi bila benih tersebut sebenarnya hidup
tetapi berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap
telah memenuhi syarat bagi suatu perkecambahan. Dormansi merupakan terhambatnya
proses metabolisme dalam biji. Dormansi dapat berlangsung dalam waktu yang
sangat bervariasi (harian-tahunan) tergantung oleh jenis tanaman dan pengaruh
lingkungannya. Dormansi pada benih dapat disebabkan oleh keadaan fisik dari
kulit, keadaan fisiologis dari embrio, atau kombinasi dari kedua keadaan
tersebut. Namun demikian, dormansi bukan berarti benih tersebut mati atau tidak
dapat tumbuh kembali, disini hanya terjadi masa istirahat dari pada benih itu
sendiri. Masa ini dapat dipecahkan dengan berbagai cara, seperti cara mekanis
atau kimiawi. Cara mekanis dengan menggunakan sumber daya alat atau bahan
mekanis yang ada seperti amplas, jarum, pisau, alat penggoncang dan sebagainya.
Sedangkan cara kimiawi dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti asam sulfat
pekat dan HNO3 pekat. Pada intinya cara-cara tersebut supaya
terdapat celah agar air dan gas udara untuk perkecambahan dapat masuk ke dalam
benih.
Hormon yang berperan dalam dormansi biji
adalah hormon asam absisat (ABA). Hormon ini dihasilkan pada tunas terminal dan
berperan dalam memperlambat pertumbuhan dan mengarahkan bagian primordia daun
untuk mengalami perkembangan menjadi sisik yang nantinya berfungsi untuk
melindungi tunas yang mengalami dormansi pada musim dingin. Hormon asam absisat
juga berperan dalam menghambat pembelahan sel pada kambium pembuluh. Biji akan
melakukan perkecambahan ketika asam absisat dihambat dengan cara membuatnya tidak
aktif. Biji memerlukan cahaya atau stimulus lain untuk memicu perombakan asam
absisat. Untuk mematahkan dormansi biji dapat juga dilakukan dengan
meningkatkan hormon giberelin, sehingga rasio asam absisat terhadap giberelin
dapat menentukan apakah biji tersebut akan tetap dorman atau mengalami
perkecambahan (Campbell, 2000: 386).
Perkecambahan benih dipengaruhi oleh
faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal). Faktor internal antaralain
tingkat kemasakan biji, ukuran biji, dormansi, dan penghambat perkecambahan.
Biji yang dipanen sebelum kemasakannya tercapai tidak mempunyai viabilitas yang
tinggi karena belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan pembentukan embrio
belum sempurna. Biji akan mencapai tingkat kemasakan yang maksimum ketika berat
biji mencapai titik berat maksimum. Vigor (daya tumbuh maksimum) dan viabilitas
(daya kecambah maksimum) mempunyai nilai maksimal tertinggi. Ukuran biji
menunjukkan besarnya kecambah yang akan muncul. Karena semakin besar biji maka
semakin banyak cadangan makanan yang terkandung dalam jaringan penyimpanan
digunkana sebagai sumber energi bagi embrio pada saat perkecambahan. Serta dormansi
biji dapat mempengaruhi perkecambahan karena menunjukkan suatu keadaan dimana biji-biji
sehat (viabel) namun gagal berkecambah ketika berada dalam kondisi yang secara
normal baik untuk berkecambah, seperti kelembaban yang cukup, suhu dan cahaya
yang sesuai. Sedangkan faktor eksternal yaitu air, suhu, oksigen, cahaya dan
medium. Air berfungsi untuk melembabkan kulit biji sehingga menjadi pecah atau
robek agar terjadi pengembangan embrio dan endosperm., untuk memberikan
fasilitas masuknya oksigen kedalam biji, untuk mengencerkan protoplasma
sehingga dapat mengaktifkan berbagai fungsinya dan sebagai alat transport
larutan makanan dari endosperm atau kotiledon ke titik tumbuh, dimana akan
terbentuk protoplasma baru. Suhu optimal adalah yang paling menguntungkan
berlangsungnya perkecambahan biji dimana presentase perkembangan tertinggi
dapat dicapai yaitu pada kisaran suhu antara 26.5 sampai dengan 35°C. Umumnya
benih akan berkecambah dalam udara yang mengandung 29 persen oksigen dan 0.03
persen CO2. Namun untuk biji yang dorman, perkecambahannya akan
terjadi jika oksigen yang masuk ke dalam biji ditingkatkan sampai 80 persen,
karena biasanya oksigen yang masuk ke embrio kurang dari 3 persen. Pengaruh
cahaya terhadap perkecambahan benih dapat dibagi atas 4 golongan yaitu golongan
yang memerlukan cahaya mutlak, golongan yang memerlukan cahaya untuk mempercepat
perkecambahan, golongan dimana cahaya dapat menghambat perkecambahan, serta
golongan dimana benih dapat berkecambah baik pada tempat gelap maupun ada
cahaya. Medium yang baik untuk perkecambahan haruslah memiliki sifat fisik yang
baik, gembur, mempunyai kemampuan menyerap air dan bebas dari organisme
penyebab penyakit.
Setelah dormansi patah, maka akan
terjadi proses selanjutnya yaitu perkecambahan. Perkecambahan merupakan suatu
proses awal dari pertumbuhan individu baru pada tumbuhan yang diawali dengan
munculnya radikula pada testa biji. Proses perkecambahan ini dipengaruhi oleh
ketersediaan air dalam medium yang digunakan untuk pertumbuhan biji. Air akan
diserap dan digunakan untuk memicu aktivitas enzim-enzim metabolisme
perkecambahan. Proses perkecambahan diawali dengan mengembang dan pecahnya
kulit biji pembungkus akibat adanya imbibisi air ke dalam biji. Hal tersebut
juga memicu perubahan metabolik pada biji sehingga dapat melanjutkan
pertumbuhannya. Terdapat beberapa enzim yang nantinya akan menghidrolisis
bahan-bahan yang disimpan di dalam kotiledon serta nutrien-nutrien yang berada
di dalamnya. Enzim-enzim yang berperan dalam proses hidrolisis adalah enzim
α-amilase, enzim β-amilase, dan protease. Enzim α-amilase berperan dalam
memecah pati secara acak dari bagian tengah dan bagian dalam molekul, disebut
endoamilase. Enzim β-amilase berperan dalam menghidrolisa unit-unit glukosa
dari ujung molekul pati, disebut eksoamilase. Enzim protease berperan dalam
menguraikan protein menjadi asam amino.
Praktikum pematahan dormansi biji ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara pematahan dormansi pada biji berkulit
keras dengan fisik dan kimiawi. Praktikum ini menggunakan 3 jenis perlakuan,
yaitu kontrol, kimiawi, dan mekanik. Biji asam yang dibutuhkan adalah 30 biji,
10 biji untuk perlakuan kontrol, 10 biji untuk perlakuan mekanik, dan 10 biji
sisanya untuk perlakuan kimiawi. Untuk perlakuan kontrol, 10 biji asam hanya
dicuci dengan menggunakan air kemudian diletakkan diatas petridish yang telah
dilapisi oleh kapas. 10 biji tersebut kemudian ditutupi oleh kapas dan disiram
dengan air sedikit demi sedikit. Untuk perlakuan kimiawi, 10 biji dicuci
terlebih dahulu kemudian direndam di dalam asam sulfat (H2SO4)
pekat selama 15 menit. Perendaman biji dalam asam sulfat pekat bertujuan agar
kulit biji yang keras dapat terkelupas. Asam sulfat pekat dapat menyebabkan
proses korosis pada biji. Hal ini dapat terjadi karena asam sulfat pekat dapat
melunakkan dan memecahkan kulit biji, dengan demikian proses imbibisi air ke
dalam biji akan terjadi secara maksimal. Selain itu, senyawa-senyawa yang lain
yang diperlukan dalam proses pertumbuhan dapat masuk ke dalam biji tanpa adanya
hambatan. Kemudian, 10 biji yang mendapat perlakuan kimia diletakkan diatas
petridish yang talah dilapisi oleh kapas, kemudian ditutupi oleh kapas kembali
tanpa disiram dengan air. Ketiga perlakuan didiamkan selama 1 minggu, dan
dibawa ke laboratorium pada praktikum pertemuan selanjutnya untuk diamati.
Serta untuk perlakuan mekanik, 10 biji lainnya digosok dengan menggunakan
kertas ampelas sampai terkelupas kulit bijinya. Kemudian mencuci 10 biji
tersebut dan meletakkan diatas petridish yang telah dilapisi oleh kapas.
Setelah itu menutup kesepuluh biji dengan kapas dan disiram dengan air
sedikit-demi sedikit. Kapas berfungsi sebagai media pertumbuhan biji. Biji
jangan sampai dibiarkan kering, setiap hari harus disiram dengan menggunakan
air secukupnya.
Hasil yang diperoleh oleh kelompok 1
yaitu pada perlakuan kontrol terdapat 1 biji yang tumbuh, 3 biji pecah, dan 6
biji masih utuh. Pada perlakuan kimiawi tidak ada biji yang tumbuh, 7 biji
pecah, dan 3 biji masih utuh. Sedangkan pada perlakuan mekanik 10 biji tumbuh
dengan baik. Hasil yang diperoleh kelompok 2 yaitu pada perlakuan kontrol
terdapat 8 biji yang tumbuh, dan 2 biji lainnya pecah. Pada perlakuan mekanik
10 biji tumbuh dengan baik. Sedangkan pada perlakuan kimiawi terdapat 4 biji
yang tumbuh, dan 6 biji lainnya masih utuh. Hasil yang diperoleh kelompok 3
yaitu pada perlakuan kontrol tidak ada biji yang tumbuh dan semua biji masih
utuh. Pada perlakuan mekanik terdapat 10 biji yang tumbuh. Sedangkan pada
perlakuan kimiawi 3 biji tumbuh, 1 biji pecah, dan 6 biji masih utuh. Hasil
yang diperoleh kelompok 4 yaitu pada perlakuan kontrol terdapat 4 biji yang
tumbuh, 4 biji pecah dan 2 masih utuh. Pada perlakuan mekanik terdapat 9 biji
yang tumbuh dan 1 pecah. Sedangkan pada perlakuan kimiawi terdapat 2 biji yang
tumbuh, 5 pecah dan 3 masih utuh. Hasil yang diperoleh kelompok 5 yaitu pada
perlakuan kontrol tidak ada biji yang tumbuh dan semua biji masih utuh. Pada
perlakuan mekanik terdapat 10 biji yang tumbuh dengan baik. Sedangkan pada
perlakuan kimiawi tidak ada biji yang tumbuh namun terdapat satu biji yang
pecah. Serta hasil yang diperoleh kelompok 6 yaitu pada perlakuan kontrol tidak
terdapat biji yang tumbuh, 1 biji pecah dan 9 biji masih utuh. Pada perlakuan
mekanik 10 biji tumbuh dengan baik. Serta pada perlakuan kimiawi terdapat 3
biji yang tumbuh, sedangkan 7 biji lainnya masih utuh.
Prosentase perkecambahan dapat diperoleh
dengan cara jumlah biji yang tumbuh dibagi dengan jumlah biji keseluruhan lalu
dikalikan 100%. Jumlah biji keseluruhan yaitu 180 biji. Prosentase biji
perlakuan kontrol, yaitu jumlah keseluruhan biji yang tumbuh untuk perlakuan
kontrol adalah 13 biji lalu dibagi 180 kemudian dikalikan 100%. Hasil yang di
dapat yaitu 7,22 %. Jumlah keseluruhan biji yang tumbuh untuk perlakuan mekanik
adalah 59 biji lalu dibagi 180 kemudian dikalikan 100%, sehingga prosentase
perkecambahan pada perlakuan ini yaitu 32,8%. Sedangkan jumlah keseluruhan biji
yang tumbuh pada perlakuan kimiawi adalah 12 lalu dibagi 180 kemudian dikalikan
100%, sehingga prosentase perkecambahan perlakuan kimiawi yaitu 6,67%.
Dari hasil pengamatan yang diperoleh,
perlakuan paling cepat yaitu pada perlakuan mekanik. Karena pada perlakuan
mekanik dilakukan penggosokan kulit biji dengan menggunakan kertas ampelas
hingga kulit bijinya terkelupas. Hal ini dapat memudahkan proses imbibisi tanpa
adanya hambatan, sehingga tumbuhan akan menyerap air secara maksimal dan proses
pertumbuhan/perkecambahan yang terjadi juga dapat berjalan dengan baik.
VII.
Kesimpulan
Dormansi
merupakan terhambatnya proses metabolisme dalam biji. Cara pematahan dormansi
dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan perlakuan mekanik dan kimiawi. Untuk
perlakuan mekanik dilakukan dengan cara menggosok dengan menggunakan kertas
ampelas sampai terkelupas kulit bijinya. Sedangkan perlakuan kimiawi dilakukan
dengan cara merendam biji di dalam asam sulfat (H2SO4)
pekat selama 15 menit. Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan mekanik
lebih baik dalam mematahkan dormansi biji karena pada semua kelompok dengan
perlakuan mekanik semua biji tumbuh dengan baik, sedangkan dengan perlakuan
kimiawi tidak semua biji dapat tumbuh dengan baik.
VIII.
Saran
Pada
perawatan biji dilakukan oleh individu yang berbeda sehingga cara perawatan
tiap individupun berbeda termasuk penyiraman biji, hal tersebut dapat menjadisalah
satu faktor yang dapat mempengaruhi proses perkecambahan. Oleh karena itu,
untuk praktikum selanjutnya diusahakan waktu penyiraman dan jumlah air yang
digunakan untuk menyiram ditentukan atau diseragamkan, sehingga dapat
meminimalisir terjadinya suatu perbedaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Astari,
Retno Puji., et al. 2014. Pengaruh
Pematahan Dormansi Secara Fisik dan Kimia terhadap Kemampuan Berkecambah Benih
Mucuna (Mucuna bracteata D.C.). Jurnal
Online Agroteknologi 2(2) : 2337-6597).
Campbell,
Neil A, et al. 2000. Biologi
Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Harjono, H. 2007. Memperbanyak Tanaman Hias Favorit.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Hartawan, R. 2016. Skarifikasi dan KNO3 Mematahkan Dormansi
Serta
Meningkatkan
Viabilitas dan Vigor Benih Aren (Arenga pinnata Merr.).
Jurnal
Media Pertanian , Vol. 1 (1) : 1 – 10.
Kartika, et al.
2015. Pematahan Dormansi Benih Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) menggunakan KNO3 dan Skarifikasi. Jurnal Pertanian dan
Lingkungan
8(2) : 1978-1644.
Satya, Ilham Indra., et al. 2015. Pengaruh Perendaman Asam Sulfat (H2SO4)
terhadap Viabilitas Benih Delima (Punica granatum L.). Jurnal Online
Agroekoteknologi
3(4)
: 2337-6597.
Utama, Zulman Harja. 2005. Budidaya Padi pada Lahan Marjinal Kiat
Meningkatkan
Produksi Padi. Yogyakarta : Penerbit CV. Andi Offset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar