TOLERANSI
OSMOTIK TERHADAP BERBAGAI TINGKAT KEPEKATAN MEDIUM PADA ERITROSIT HEWAN
POIKILOTERMIK (Mabouya multifasciata)
DAN HOMOIOTERMIK (Mus musculus)
Osmotic Tolerance Against Different Levels In Erytrocyts Animal Medium Density Poikiloterm (Mabouya multifasciata) And Homoioterm (Mus musculus)
Siti
Rosida, 140210103019, Fisiologi Hewan Kelas A
Program
Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Jember
Abstrak
Sel darah
merah (eritrosit) merupakan sel yang berperan dalam pengangkutan oksigen di
dalam tubuh, karena eritrosit itu sendiri mengandung Hb (hemoglobin) yang mampu
mengikat oksigen dalam darah. Sedangkan osmosis merupakan peristiwa mengalirnya
zat pelarut dari daerah hipotonis zat terlarut ke daerah hipertonis zat
telarut. Larutan hipotonis merupakan larutan yang memiliki konsentrasi zat
terlarut yang rendah, sehingga jika sel darah hewan yang di masukkan ke dalam
larutan ini akan mengakibatkan terjadinya lisis pada sel darah tersebut, karena
cairan akan masuk ke dalam sel darah. Sedangkan larutan hipertonis merupakan
larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut yang tinggi, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya krenasi pada sel darah hewan yang dimasukkan ke dalam
larutan tersebut, karena air yang terdapat di dalam sel akan keluar ke
lingkungan. Pada umumnya cairan eritrosit hewan poikilotermik isotonis dengan
0,7% NaCl, sedangkan cairan eritrosit hewan homoiotermik isotonis dengan 0,9%
NaCl.
Kata kunci: eritrosit, poikilotermik,
homoiotermik, hipotonik, hipertonik.
Abstract
Red blood cells (erythrocytes) are cells that play a role in the transport of oxygen in the body, because the erythrocytes itself contains Hb (hemoglobin) that is able to bind oxygen in the blood. While osmosis is an event the flow of solvent from solute hipotonis area to area hipertonis soluble substances. Hipotonis solution is a solution having a low solute concentration, so that if the blood cells of animals that entered into this solution will result in cell lysis in the blood, because the liquid will get into the blood cells. While the hypertonic solution is a solution having a high solute concentration, which can result in Crenation on animal blood cells are incorporated into the solution, because the water contained in the cells going out into the environment. In general, an isotonic fluid poikilotermik animal erythrocytes with 0.7% NaCl, while isotonic fluid homoiotermik animal erythrocytes with 0.9% NaCl.
Keywords: erythrocyte, poikilotermik, homoiotermik, hypotonic, hypertonic.
PENDAHULUAN
Pengamatan tentang
toleransi osmotik terhadap berbagai tingkat kepekatan medium ini dilakukan
karena berhubungan dengan tekanan osmotik atau proses osmoregulasi pada hewan, yang
merupakan proses pengontrolan konsentrasi zat terlarut serta menyeimbangkan
perolehan dan kehilangan air pada sel hewan. Pada praktikum ini melakukan
pemecahan masalah terhadap besarnya toleransi osmotik eritrosit hewan
poikilotermik dan homoiotermik, sehingga praktikum ini bertujuan untuk
mengetahui besarnya toleransi osmotik eritrosit hewan poikilotermik dan
homoiotermik terhadap berbagai tingkat kepekatan medium.
METODE
PENELITIAN
Praktikum ini
dilaksanakan di laboratorium Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Jember pada tanggal 14 Oktober 2016. Alat yang
dibutuhkan pada praktikum ini yaitu mikroskop, kaca benda, kaca penutup, pipet
tetes, papan dan alat seksio, dan gelas piala. Sedangkan bahan yang digunakan
yaitu larutan garam dapur dengan konsentrasi 3%, 2%, 1%, 0.9 %, 0.7 %, 0.5%, 0.3 %, dan 0.1%,
aquadest, kadal (Mabouya multifasciata),
dan mencit (Mus musculus).
Percobaan pertama yang
dilakukan yaitu mengamati sel darah merah hewan poikilotermik yaitu kadal (Mabouya multifasciata). Langkah pertama,
kadal dibius menggunakan ether atau kloroform, kemudian disinglepit dan dibedah
sehingga nampak jantungnya dengan pembuluh-pembuluh darah besar. Lalu menusuk salah
satu pembuluh darah tersebut hingga darah keluar. Mengambil darah tersebut dan
mengamati bentuk (keadaan) sel darahnya tanpa perlakuan apapun karena digunakan
sebagai kontrol. Selanjutnya mengamati sel darah merah pada medium yang lebih
encer yaitu NaCl dengan konsentrasi berturut-turut dari 0.7%, 0.5%, 0.3%, 0.1%
sampai aquadest. Kemudian mengamati bentuk sel darah merah pada medium yang
lebih pekat yaitu NaCl dengan konsentrasi berturut-turut dari 0.7%, 0.9%, 1%,
2%, dan 3%.
Percobaan kedua yang
dilakukan yaitu mengamati sel darah merah hewan homoiotermik yaitu mencit (Mus musculus). Langkah pertama yang
dilakukan yaitu membunuh hewan coba yaitu mencit dengan cara dislokasi leher,
kemudian membedah pada bagian dada sehingga nampak jantung dan pembuluh-pembuluh
darah besar. Lalu menusuk pembuluh darah tersebut sehingga darahnya keluar.
Selanjutnya mengamati bentuk/ keadaan sel darah merah pada medium yang lebih
encer yaitu NaCl dengan konsentrasi berturut-turut dari 0.9%, 0.7%, 0.5%, 0.3%,
0.1% sampai aquadest. Kemudian mengamati bentuk/ kondisi sel darah merah pada
medium yang lebih pekat yaitu NaCl dengan konsentrasi berturut-turut dari 0.9%,
1%, 2%, dan 3%. Dan hal yang perlu diperhatikan dalam pengamatan ini yaitu pada
setiap pergantian medium hendaknya memakai sel darah merah yang baru (berbeda).
HASIL
PENELITIAN
PEMBAHASAN
Bentuk dan
ukuran sel darah merah tergantung dari spesies hewan itu sendiri. Pada hewan mamalia,
sel darah merahnya tidak mempunyai inti,
berbentuk bulat dan bikonkaf. Pada umunya sel darah merah yang tidak berinti
mempunyai ukuran lebih kecil di
bandingkan dengan sel darah merah yang berinti. Sel darah merah yang paling
besar terdapat pada hewan amphibi. Menurut strukturnya, sel darah merah (eritrosit)
terdiri atas membran sel, dan terdapat substansi seperti spons yang disebut
stroma. Analisis kimia membuktikan bahwa membran eritrosit terdiri dari 2 macam
substansi yaitu ptrotein dan lipid. Kombinasi protein dan lipid ini disebut
dengan lipo-protein (Wulangi, 1993: 23). [1]
Suatu
larutan disebut hipotonis apabila konsentrasi larutan di
dalam sel lebih tinggi daripada konsentrasi larutan di luar sel. Apabila
kebalikannya, yaitu konsentrasi larutan di luar sel lebih tinggi daripada
konsentrasi larutan di dalam sel maka larutan tersebut disebut larutan
hipertonis. Sedangkan jika konsentrasi larutan di dalam sel sama dengan konsentrasi
larutan diluar sel, maka larutan tersebut disebut larutan isotonis (Karmana,
2008). [2]
Osmosis merupakan suatu
peristiwa berpindahnya kadar air (zat pelarut) dalam sel dari keadaan sel yang
hipotonis menuju ke keadaan sel yang hipertonis melalui membran semi permeabel
(Rahmasari, 2014). [3]
Osmosis itu sendiri memainkan
peranan yang sangat penting pada tubuh makhluk hidup, misalnya saja pada
membran sel darah merah. Jika sel darah merah di letakkan di dalam suatu
larutan yang hipertonik (lebih pekat), air yang terdapat dalam sel darah akan
keluar dari sel sehingga sel mengerut dan rusak, proses ini disebut dengan
krenasi. Sebaliknya, jika sel darah merah diletakkan di dalam suatu larutan
yang bersifat hipotonik (lebih encer), air dari larutan tersebut akan masuk
kedalam sel darah sehingga sel mengembang dan pecah, proses ini disebut dengan lisis
(Isnaeni, 2006). [4]
Lisis yang terjadi pada
sel darah merah (eritrosit) disebut hemolisis,
yaitu peristiwa pecahnya eritrosit akibat masuknya air ke dalam
eritrosit sehingga hemoglobin keluar dari dalam eritrosit menuju ke cairan
sekelilingnya. Membran sel eritrosit bersifat selektif permeabel, jadi dapat
ditembus oleh air dan zat-zat tertentu saja. Hemolisis ini akan terjadi apabila
eritrosit dimasukkan ke dalam medium yang hipotonis terhadap cairan sel
eritrosit. Berdasarkan penelitian, sel eritrosit hewan homoiotermik isotonis
dengan larutan 0.9% NaCl. Namun yang perlu diketahui ialah membran eritrosit
(termasuk membran sel yang lain) memiliki toleransi osmotik, maksudnya sel
mampu mempertahankan bentuknya sampai batas konsentrasi medium tertentu
sehingga tidak mengalami lisis, namun jika sudah melebihi batas tersebut maka
sel akan mengalami lisis. Kadang pula pada suatu konsentrasi larutan NaCl
tertentu, tidak semua eritrosit akan mengalami hemolisis. Jadi hal ini menunjukkan
bahwa adanya perbedaan terhadap toleransi osmotik membran sel eritrosit. Hemolisis
yang terjadi pada sel darah merah tersebut disebut hemolisis osmotik, yaitu
hemolisis yang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan osmotik pada cairan sel
dengan mediumnya (cairan lingkungannya). Jenis hemolisis yang lain yaitu
hemolisis kimiawi, hemolisis ini terjadi jika membran eritrosit rusak akibat
substansi kimia. Zat-zat yang dapat merusak membrane eritrosit (termasuk
membran sel yang lain) adalah: kloroform, aseton, alkohol, benzene dan eter. Apabila
sel darah merah (eritrosit) mengalami hemolisis, maka hemoglobin akan larut
dalam mediumnya. Sehingga medium tersebut akan berubah warna menjadi warna
merah. Semakin banyak eritrosit yang mengalami hemolisis, maka semakin merah
pula warna mediumnya. Peristiwa yang berkebalikan dengan
lisis yaitu krenasi. Krenasi dapat terjadi apabila eritrosit dimasukkan ke
dalam medium yang hipertonis terhadap cairan eritrosit itu sendiri. Misalnya, eritrosit
hewan homoiotermik adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0.9%, sedangkan
untuk eritrosit hewan poikilotermik adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari
0.7% (Soewolo, 2000). [5]
Pada kelompok 1, 3, 5,
dan 7 melakukan pengamatan toleransi osmotik eritrosit menggunakan hewan
poikilotermik yaitu kadal (Mabouya
multifasciata), akan tetapi dari keempat kelompok tersebut melakukan
perlakuan yang berbeda. Pada kelompok 1 mengamati sel darah merah kadal dengan
konsentrasi NaCl 0.1%, 0.2%, dan 0.3%, dan hasil yang diperoleh pada ketiga
konsentrasi tersebut yaitu sel darah merah mengalami lisis. Pada kelompok 3
mengamati sel darah merah kadal dengan konsentrasi NaCl 0.3%, 0.5%, dan 0.7%,
dan hasil yang diperoleh yaitu pada konsentrasi NaCl 0.3% dan 0.5% sel darah
merah mengalami lisis, sedangkan pada konsentrasi NaCl 0.75 sel darah merah tampak
normal. Pada kelompok 5 mengamati sel darah merah kadal dengan konsentrasi
0.7%, 0.9%, dan 1%, hasil yang diperoleh yaitu pada konsentrasi NaCl 0.7% sel
darah merah tampak normal, sedangkan pada konsentrasi NaCl 0.9% dan 1% sel
darah merah mengalami krenasi. Dan pada kelompok 7 mengamati sel darah merah kadal
dengan konsentrasi NaCl 1%, 2%, dan 3%, hasil yang diperoleh pada kelompok ini
yaitu pada ketiga konsentrasi tersebut sel darah merah mengalami krenasi. Pada
kelompok 1, 3, dan 5 juga melakukan pengamatan sel darah merah dari 3 kadal
yang berbeda tanpa adanya pemberian perlakuan atau sebagai kontrol, dan hasil
yang diperoleh ketiga kelompok tersebut menunjukkan hasil yang sama yaitu sel
darah merah dari ketiga kadal berbentuk normal. Dari hasil yang didapatkan
keempat kelompok tersebut sesuai dengan teori, yaitu sel darah merah
(eritrosit) hewan poikilotermik isotonis dengan larutan NaCl 0.7%, sehingga
pada perlakuan dengan konsentrasi tersebut keadaan sel darah merahnya tetap
normal. Akan tetapi pada perlakuan konsentrasi yang lebih pekat maupun yang
lebih encer dari konsentrasi tersebut, sel darah merahnya mengalami lisis
maupun krenasi.
Pada kelompok 2, 4, dan
6 melakukan pengamatan toleransi osmotik eritrosit menggunakan hewan
homoiotermik yaitu mencit (Mus musculus),
akan tetapi dari ketiga kelompok tersebut melakukan perlakuan yang berbeda.
Pada kelompok 2 mengamati sel darah merah mencit dengan konsentrasi NaCl 0.1%,
0.3%, dan 0.5%, hasil yang diperoleh pada ketiga konsentrasi tersebut yaitu sel
darah merahnya mengalami lisis. Pada kelompok 4 mengamati sel darah merah
mencit dengan konsentrasi NaCl 0.5%, 0.7%, dan 0.9%, hasil yang diperoleh yaitu
pada konsentrasi NaCl 0.5% dan 0.7 % sel darah merah mengalami lisis, sedangkan
pada konsentrasi 0.9% sel darah merah tampak normal. Pada kelompok 6 mengamati
sel darah merah mencit dengan perlakuan penambahan aquades, hasil yang
diperoleh yaitu sel darah merah mengalami lisis. Pada kelompok ini terjadi
kesalahan praktikan (humman error), karena pada kelompok ini seharusnya
mengamati sel darah merah dengan berbagai macam perlakuan konsentrasi NaCl
seperti kelompok lain lakukan, namun pada kelompok ini hanya melakukan
pengamatan terhadap perlakuan penambahan aquades saja. Pada kelompok 2 dan 4
juga melakukan pengamatan sel darah merah dari 2 mencit yang berbeda tanpa
adanya pemberian perlakuan atau sebagai kontrol, dan hasil yang diperoleh kedua
kelompok tersebut sama yaitu sel darah merah (eritrosit) dalam keadaan normal.
Dari hasil yang diperoleh pada kelompok ini menunjukkan bahwa sesuai dengan
teori, yaitu sel darah merah (eritrosit) hewan homoiotermik isotonis dengan
larutan NaCl 0.9%. Sehingga pada perlakuan dengan konsentrasi tersebut
keadaanvsel darah merahnya tampak normal. Akan tetapi pada perlakuan
konsentrasi yang lebih pekat maupun yang lebih encer dari konsentrasi tersebut,
sel darah merahnya mengalami lisis maupun krenasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
dari pengamatan kali ini yaitu toleransi osmotik eritrosit hewan poikilotermik
isotonis dengan 0.7% NaCl, sedangkan eritrosit hewan homoiotermik isotonis
dengan 0.9% NaCl. Apabila sel darah merah (eritrosit) di letakkan pada medium
yang lebih encer misalnya berturut-turut dari 0.7%, 0.5%, 0.3%, 0.1% sampai
aquades, maka eritrosit tersebut akan mengalami lisis, sedangkan apabila sel
darah merah tersebut diletakkan pada medium yang lebih pekat misalnya
berturut-turut dari 0.9%, 1%, 2%, dan 3%, maka eritrosit tersebut akan
mengalami krenasi. Saran terhadap pengamatan kali ini yaitu alat-alat
laboratorium masih kurang memadai untuk menunjang pelaksanaan praktikum, seperti
mikroskop maupun alat seksio sehingga waktu yang digunakan pada saat melakukan pengamatan
tidak efisien. Oleh karena itu diharapkan untuk praktikum selanjutnya alat-alat
yang tersedia di dalam laboratorium lebih memadai agar untuk praktikum selanjutnya waktu yang
digunakan lebih efisien.
Daftar
Pustaka
[1] Wulangi, S.
Kartolo. 1993. Prinsip-prisip Fisiologi
Hewan. Bandung: ITB Press.
[2] Karmana,
Oman. 2008. Biologi. Bandung:
Grafindo
Media Prtama.
[3]
Rahmasari, Hamita dan Wahono Hadi Susanto.
2014. Ektraksi Osmosis Pada Pembuatan Sirup
Murbei (Morus alba L.) Kajian Proporsi
Buah:
Sukrosa dan lama Osmosis.
Jurnal Pangan dan
Agroindustri. Volume 2 Nomor 3.
[4] Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta:
Kanisius.
[5] Soewolo. 2000. Pengantar
Fisiologi Hewan.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar