Selasa, 13 Desember 2016

TOLERANSI OSMOTIK TERHADAP BERBAGAI TINGKAT KEPEKATAN MEDIUM PADA ERITROSIT HEWAN POIKILOTERMIK (Mabouya multifasciata) DAN HOMOIOTERMIK (Mus musculus)



TOLERANSI OSMOTIK TERHADAP BERBAGAI TINGKAT KEPEKATAN MEDIUM PADA ERITROSIT HEWAN POIKILOTERMIK (Mabouya multifasciata) DAN HOMOIOTERMIK (Mus musculus)
Osmotic Tolerance Against Different Levels In Erytrocyts Animal Medium Density Poikiloterm (Mabouya multifasciata) And Homoioterm (Mus musculus)
Siti Rosida, 140210103019, Fisiologi Hewan Kelas A
Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember
Abstrak
Sel darah merah (eritrosit) merupakan sel yang berperan dalam pengangkutan oksigen di dalam tubuh, karena eritrosit itu sendiri mengandung Hb (hemoglobin) yang mampu mengikat oksigen dalam darah. Sedangkan osmosis merupakan peristiwa mengalirnya zat pelarut dari daerah hipotonis zat terlarut ke daerah hipertonis zat telarut. Larutan hipotonis merupakan larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut yang rendah, sehingga jika sel darah hewan yang di masukkan ke dalam larutan ini akan mengakibatkan terjadinya lisis pada sel darah tersebut, karena cairan akan masuk ke dalam sel darah. Sedangkan larutan hipertonis merupakan larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut yang tinggi, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya krenasi pada sel darah hewan yang dimasukkan ke dalam larutan tersebut, karena air yang terdapat di dalam sel akan keluar ke lingkungan. Pada umumnya cairan eritrosit hewan poikilotermik isotonis dengan 0,7% NaCl, sedangkan cairan eritrosit hewan homoiotermik isotonis dengan 0,9% NaCl.
Kata kunci: eritrosit, poikilotermik, homoiotermik, hipotonik, hipertonik.
Abstract
Red blood cells (erythrocytes) are cells that play a role in the transport of oxygen in the body, because the erythrocytes itself contains Hb (hemoglobin) that is able to bind oxygen in the blood. While osmosis is an event the flow of solvent from solute hipotonis area to area hipertonis soluble substances. Hipotonis solution is a solution having a low solute concentration, so that if the blood cells of animals that entered into this solution will result in cell lysis in the blood, because the liquid will get into the blood cells. While the hypertonic solution is a solution having a high solute concentration, which can result in Crenation on animal blood cells are incorporated into the solution, because the water contained in the cells going out into the environment. In general, an isotonic fluid poikilotermik animal erythrocytes with 0.7% NaCl, while isotonic fluid homoiotermik animal erythrocytes with 0.9% NaCl.
Keywords: erythrocyte, poikilotermik, homoiotermik, hypotonic, hypertonic.


PENDAHULUAN
Pengamatan tentang toleransi osmotik terhadap berbagai tingkat kepekatan medium ini dilakukan karena berhubungan dengan tekanan osmotik atau proses osmoregulasi pada hewan, yang merupakan proses pengontrolan konsentrasi zat terlarut serta menyeimbangkan perolehan dan kehilangan air pada sel hewan. Pada praktikum ini melakukan pemecahan masalah terhadap besarnya toleransi osmotik eritrosit hewan poikilotermik dan homoiotermik, sehingga praktikum ini bertujuan untuk mengetahui besarnya toleransi osmotik eritrosit hewan poikilotermik dan homoiotermik terhadap berbagai tingkat kepekatan medium.
METODE PENELITIAN
Praktikum ini dilaksanakan di laboratorium Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember pada tanggal 14 Oktober 2016. Alat yang dibutuhkan pada praktikum ini yaitu mikroskop, kaca benda, kaca penutup, pipet tetes, papan dan alat seksio, dan gelas piala. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu larutan garam dapur dengan konsentrasi 3%, 2%,  1%, 0.9 %, 0.7 %, 0.5%, 0.3 %, dan 0.1%, aquadest, kadal (Mabouya multifasciata), dan mencit (Mus musculus).
Percobaan pertama yang dilakukan yaitu mengamati sel darah merah hewan poikilotermik yaitu kadal (Mabouya multifasciata). Langkah pertama, kadal dibius menggunakan ether atau kloroform, kemudian disinglepit dan dibedah sehingga nampak jantungnya dengan pembuluh-pembuluh darah besar. Lalu menusuk salah satu pembuluh darah tersebut hingga darah keluar. Mengambil darah tersebut dan mengamati bentuk (keadaan) sel darahnya tanpa perlakuan apapun karena digunakan sebagai kontrol. Selanjutnya mengamati sel darah merah pada medium yang lebih encer yaitu NaCl dengan konsentrasi berturut-turut dari 0.7%, 0.5%, 0.3%, 0.1% sampai aquadest. Kemudian mengamati bentuk sel darah merah pada medium yang lebih pekat yaitu NaCl dengan konsentrasi berturut-turut dari 0.7%, 0.9%, 1%, 2%, dan 3%.
Percobaan kedua yang dilakukan yaitu mengamati sel darah merah hewan homoiotermik yaitu mencit (Mus musculus). Langkah pertama yang dilakukan yaitu membunuh hewan coba yaitu mencit dengan cara dislokasi leher, kemudian membedah pada bagian dada sehingga nampak jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar. Lalu menusuk pembuluh darah tersebut sehingga darahnya keluar. Selanjutnya mengamati bentuk/ keadaan sel darah merah pada medium yang lebih encer yaitu NaCl dengan konsentrasi berturut-turut dari 0.9%, 0.7%, 0.5%, 0.3%, 0.1% sampai aquadest. Kemudian mengamati bentuk/ kondisi sel darah merah pada medium yang lebih pekat yaitu NaCl dengan konsentrasi berturut-turut dari 0.9%, 1%, 2%, dan 3%. Dan hal yang perlu diperhatikan dalam pengamatan ini yaitu pada setiap pergantian medium hendaknya memakai sel darah merah yang baru (berbeda).
HASIL PENELITIAN
PEMBAHASAN
Bentuk dan ukuran sel darah merah tergantung dari spesies hewan itu sendiri. Pada hewan mamalia,  sel darah merahnya tidak mempunyai inti, berbentuk bulat dan bikonkaf. Pada umunya sel darah merah yang tidak berinti mempunyai ukuran lebih  kecil di bandingkan dengan sel darah merah yang berinti. Sel darah merah yang paling besar terdapat pada hewan amphibi. Menurut strukturnya, sel darah merah (eritrosit) terdiri atas membran sel, dan terdapat substansi seperti spons yang disebut stroma. Analisis kimia membuktikan bahwa membran eritrosit terdiri dari 2 macam substansi yaitu ptrotein dan lipid. Kombinasi protein dan lipid ini disebut dengan lipo-protein (Wulangi, 1993: 23). [1]
Suatu larutan disebut hipotonis apabila konsentrasi larutan di dalam sel lebih tinggi daripada konsentrasi larutan di luar sel. Apabila kebalikannya, yaitu konsentrasi larutan di luar sel lebih tinggi daripada konsentrasi larutan di dalam sel maka larutan tersebut disebut larutan hipertonis. Sedangkan jika konsentrasi larutan di dalam sel sama dengan konsentrasi larutan diluar sel, maka larutan tersebut disebut larutan isotonis (Karmana, 2008). [2]
Osmosis merupakan suatu peristiwa berpindahnya kadar air (zat pelarut) dalam sel dari keadaan sel yang hipotonis menuju ke keadaan sel yang hipertonis melalui membran semi permeabel (Rahmasari, 2014). [3]
Osmosis itu sendiri memainkan peranan yang sangat penting pada tubuh makhluk hidup, misalnya saja pada membran sel darah merah. Jika sel darah merah di letakkan di dalam suatu larutan yang hipertonik (lebih pekat), air yang terdapat dalam sel darah akan keluar dari sel sehingga sel mengerut dan rusak, proses ini disebut dengan krenasi. Sebaliknya, jika sel darah merah diletakkan di dalam suatu larutan yang bersifat hipotonik (lebih encer), air dari larutan tersebut akan masuk kedalam sel darah sehingga sel mengembang dan pecah, proses ini disebut dengan lisis (Isnaeni, 2006). [4]
Lisis yang terjadi pada sel darah merah (eritrosit) disebut hemolisis,  yaitu peristiwa pecahnya eritrosit akibat masuknya air ke dalam eritrosit sehingga hemoglobin keluar dari dalam eritrosit menuju ke cairan sekelilingnya. Membran sel eritrosit bersifat selektif permeabel, jadi dapat ditembus oleh air dan zat-zat tertentu saja. Hemolisis ini akan terjadi apabila eritrosit dimasukkan ke dalam medium yang hipotonis terhadap cairan sel eritrosit. Berdasarkan penelitian, sel eritrosit hewan homoiotermik isotonis dengan larutan 0.9% NaCl. Namun yang perlu diketahui ialah membran eritrosit (termasuk membran sel yang lain) memiliki toleransi osmotik, maksudnya sel mampu mempertahankan bentuknya sampai batas konsentrasi medium tertentu sehingga tidak mengalami lisis, namun jika sudah melebihi batas tersebut maka sel akan mengalami lisis. Kadang pula pada suatu konsentrasi larutan NaCl tertentu, tidak semua eritrosit akan mengalami hemolisis. Jadi hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan terhadap toleransi osmotik membran sel eritrosit. Hemolisis yang terjadi pada sel darah merah tersebut disebut hemolisis osmotik, yaitu hemolisis yang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan osmotik pada cairan sel dengan mediumnya (cairan lingkungannya). Jenis hemolisis yang lain yaitu hemolisis kimiawi, hemolisis ini terjadi jika membran eritrosit rusak akibat substansi kimia. Zat-zat yang dapat merusak membrane eritrosit (termasuk membran sel yang lain) adalah: kloroform, aseton, alkohol, benzene dan eter. Apabila sel darah merah (eritrosit) mengalami hemolisis, maka hemoglobin akan larut dalam mediumnya. Sehingga medium tersebut akan berubah warna menjadi warna merah. Semakin banyak eritrosit yang mengalami hemolisis, maka semakin merah pula warna mediumnya. Peristiwa yang berkebalikan dengan lisis yaitu krenasi. Krenasi dapat terjadi apabila eritrosit dimasukkan ke dalam medium yang hipertonis terhadap cairan eritrosit itu sendiri. Misalnya, eritrosit hewan homoiotermik adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0.9%, sedangkan untuk eritrosit hewan poikilotermik adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0.7% (Soewolo, 2000). [5]
Pada kelompok 1, 3, 5, dan 7 melakukan pengamatan toleransi osmotik eritrosit menggunakan hewan poikilotermik yaitu kadal (Mabouya multifasciata), akan tetapi dari keempat kelompok tersebut melakukan perlakuan yang berbeda. Pada kelompok 1 mengamati sel darah merah kadal dengan konsentrasi NaCl 0.1%, 0.2%, dan 0.3%, dan hasil yang diperoleh pada ketiga konsentrasi tersebut yaitu sel darah merah mengalami lisis. Pada kelompok 3 mengamati sel darah merah kadal dengan konsentrasi NaCl 0.3%, 0.5%, dan 0.7%, dan hasil yang diperoleh yaitu pada konsentrasi NaCl 0.3% dan 0.5% sel darah merah mengalami lisis, sedangkan pada konsentrasi NaCl 0.75 sel darah merah tampak normal. Pada kelompok 5 mengamati sel darah merah kadal dengan konsentrasi 0.7%, 0.9%, dan 1%, hasil yang diperoleh yaitu pada konsentrasi NaCl 0.7% sel darah merah tampak normal, sedangkan pada konsentrasi NaCl 0.9% dan 1% sel darah merah mengalami krenasi. Dan pada kelompok 7 mengamati sel darah merah kadal dengan konsentrasi NaCl 1%, 2%, dan 3%, hasil yang diperoleh pada kelompok ini yaitu pada ketiga konsentrasi tersebut sel darah merah mengalami krenasi. Pada kelompok 1, 3, dan 5 juga melakukan pengamatan sel darah merah dari 3 kadal yang berbeda tanpa adanya pemberian perlakuan atau sebagai kontrol, dan hasil yang diperoleh ketiga kelompok tersebut menunjukkan hasil yang sama yaitu sel darah merah dari ketiga kadal berbentuk normal. Dari hasil yang didapatkan keempat kelompok tersebut sesuai dengan teori, yaitu sel darah merah (eritrosit) hewan poikilotermik isotonis dengan larutan NaCl 0.7%, sehingga pada perlakuan dengan konsentrasi tersebut keadaan sel darah merahnya tetap normal. Akan tetapi pada perlakuan konsentrasi yang lebih pekat maupun yang lebih encer dari konsentrasi tersebut, sel darah merahnya mengalami lisis maupun krenasi.
Pada kelompok 2, 4, dan 6 melakukan pengamatan toleransi osmotik eritrosit menggunakan hewan homoiotermik yaitu mencit (Mus musculus), akan tetapi dari ketiga kelompok tersebut melakukan perlakuan yang berbeda. Pada kelompok 2 mengamati sel darah merah mencit dengan konsentrasi NaCl 0.1%, 0.3%, dan 0.5%, hasil yang diperoleh pada ketiga konsentrasi tersebut yaitu sel darah merahnya mengalami lisis. Pada kelompok 4 mengamati sel darah merah mencit dengan konsentrasi NaCl 0.5%, 0.7%, dan 0.9%, hasil yang diperoleh yaitu pada konsentrasi NaCl 0.5% dan 0.7 % sel darah merah mengalami lisis, sedangkan pada konsentrasi 0.9% sel darah merah tampak normal. Pada kelompok 6 mengamati sel darah merah mencit dengan perlakuan penambahan aquades, hasil yang diperoleh yaitu sel darah merah mengalami lisis. Pada kelompok ini terjadi kesalahan praktikan (humman error), karena pada kelompok ini seharusnya mengamati sel darah merah dengan berbagai macam perlakuan konsentrasi NaCl seperti kelompok lain lakukan, namun pada kelompok ini hanya melakukan pengamatan terhadap perlakuan penambahan aquades saja. Pada kelompok 2 dan 4 juga melakukan pengamatan sel darah merah dari 2 mencit yang berbeda tanpa adanya pemberian perlakuan atau sebagai kontrol, dan hasil yang diperoleh kedua kelompok tersebut sama yaitu sel darah merah (eritrosit) dalam keadaan normal. Dari hasil yang diperoleh pada kelompok ini menunjukkan bahwa sesuai dengan teori, yaitu sel darah merah (eritrosit) hewan homoiotermik isotonis dengan larutan NaCl 0.9%. Sehingga pada perlakuan dengan konsentrasi tersebut keadaanvsel darah merahnya tampak normal. Akan tetapi pada perlakuan konsentrasi yang lebih pekat maupun yang lebih encer dari konsentrasi tersebut, sel darah merahnya mengalami lisis maupun krenasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
               Kesimpulan dari pengamatan kali ini yaitu toleransi osmotik eritrosit hewan poikilotermik isotonis dengan 0.7% NaCl, sedangkan eritrosit hewan homoiotermik isotonis dengan 0.9% NaCl. Apabila sel darah merah (eritrosit) di letakkan pada medium yang lebih encer misalnya berturut-turut dari 0.7%, 0.5%, 0.3%, 0.1% sampai aquades, maka eritrosit tersebut akan mengalami lisis, sedangkan apabila sel darah merah tersebut diletakkan pada medium yang lebih pekat misalnya berturut-turut dari 0.9%, 1%, 2%, dan 3%, maka eritrosit tersebut akan mengalami krenasi. Saran terhadap pengamatan kali ini yaitu alat-alat laboratorium masih kurang memadai untuk menunjang pelaksanaan praktikum, seperti mikroskop maupun alat seksio sehingga waktu yang digunakan pada saat melakukan pengamatan tidak efisien. Oleh karena itu diharapkan untuk praktikum selanjutnya alat-alat yang tersedia di dalam laboratorium lebih memadai agar  untuk praktikum selanjutnya waktu yang digunakan lebih efisien.
Daftar Pustaka
[1] Wulangi, S. Kartolo. 1993. Prinsip-prisip Fisiologi
      Hewan. Bandung: ITB Press.
[2] Karmana, Oman. 2008. Biologi. Bandung: Grafindo
      Media Prtama.
[3] Rahmasari, Hamita dan Wahono Hadi Susanto.
       2014. Ektraksi Osmosis Pada Pembuatan Sirup
       Murbei (Morus alba L.) Kajian Proporsi Buah:
        Sukrosa dan lama Osmosis. Jurnal Pangan dan
       Agroindustri. Volume 2 Nomor 3.
[4] Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta:
      Kanisius.
[5] Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan.
       Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar