Selasa, 13 Desember 2016

Pengaruh Perbedaan Suhu Air Terhadap Aktivitas Respirasi Hewan Poikiloterm (Cyprinus carpio)



Pengaruh Perbedaan Suhu Air Terhadap Aktivitas Respirasi Hewan Poikiloterm (Cyprinus carpio)
Effect of Water Temperature Difference Against Respiratory Activities of Poikilotherm Animal (Cyprinus carpio)
Siti Rosida, 140210103019, Fisiologi Hewan Kelas A
Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember
Abstrak
Hewan poikiloterm merupakan hewan yang suhu tubuhnya berubah seiring dengan perubahan suhu lingkungan. Ikan mas (Cyprinus carpio) termasuk dalam hewan poikiloterm. Hewan akuatik ini menggunakan insang dalam proses respirasi. Insang merupakan lipatan keluar dari permukaan tubuh yang tertanam dalam air dan terdapat penutup insang yang disebut operkulum. Ikan mas hanya mampu mengikat oksigen yang terlarut di dalam air dan tidak dapat mengikat oksigen di udara meskipun jumlahnya lebih melimpah. Untuk lingkungan air, kadar oksigen dipengaruhi oleh kelarutan oksigen dalam air. Untuk lingkungan air, kadar oksigen dipengaruhi oleh kelarutan oksigen dalam air. Kelarutan oksigen ini salah satunya dapat dipengaruhi oleh suhu air, yaitu semakin tinggi suhu air maka semakin rendah oksigen yang terlarut, hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dapat menyebabkan gerakan operkulum pada ikan semakin cepat. Sebaliknya, semakin rendah suhu air maka konsentrasi oksigen terlarut akan semakin tinggi, dan menurunkan proses metabolisme sehingga menurunkan konsumsi oksigen, dan hal tersebut menyebabkan gerakan operkulum semakin lambat.
Kata kunci: operkulum, poikiloterm, respirasi, temperatur
Abstract
Poikilotherm animal is an animal whose body temperature changes with environmental temperature. Gold fish (Cyprinus carpio) included in poikilotherm animals. Aquatic animals using gills in the process of respiration. Gills is folds out from the surface of the body that is embedded in the water and there is a gill cover called operculum. Goldfish are only able to bind oxygen dissolved in the water and can not bind oxygen in the air even though the amount is more abundant. For environmental water, oxygen levels are influenced by the solubility of oxygen in water. For environmental water, oxygen levels are influenced by the solubility of oxygen in water. The solubility of oxygen is one of them can be influenced by water temperature, the higher the water temperature, the lower dissolved oxygen, it can lead to increased metabolic rate and respiration of aquatic organisms and subsequently result in increased oxygen consumption, so as to cause movement of the operculum in fish faster. Conversely, the lower the water temperature, the concentration of dissolved oxygen will be higher, and lower metabolic processes resulting in lower oxygen consumption, and it causes slower motion operculum.
Keywords: operculum, poikilotherm, respiration, temperature


PENDAHULUAN
Hewan poikiloterm merupakan hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan, jadi suhu internal tubuh hewan ini sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan dimana dia berada. Jadi praktikum ini dilakukan untuk mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik yaitu ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap oksigen yang terlarut di dalam air karena pengaruh suhu air. Oleh karena itu, pada percobaan ini dilakukan perlakuan penurunan suhu dan kenaikan suhu air.
METODE PENELITIAN
Praktikum ini dilaksanakan di laboratorium Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember pada tanggal 28 Oktober 2016. Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu, bak plastik, termometer, timbangan, hitter, gelas piala, gelas ukur, pengaduk, stopwatch, dan boardmarker. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu, ikan mas (Cyprinus carpio), air, dan es batu.
Percobaan pertama yang dilakukan yaitu mengamati pengaruh kenaikan suhu medium. Pengamatan ini dilakukan dengan cara memanaskan air dalam hitter, sementara menunggu air panas melakukan pengisian pada bak plastik dengan air kran dan memberi tanda tingginya air dengan boardmarker, lalu mencatat suhu air. Selanjutnya menimbang berat ikan yang akan di pakai, lalu memasukkan ke dalam bak plastik yang telah berisi air tadi. Menunggu sampai ikan nampak tenang, kemudian menghitung gerak operkulum selama satu menit dan mengulangi sampai tiga kali hitungan, kemudian mengambil rata-rata. Lalu menaikkan suhu medium dengan interval 3°C dengan cara menuangkan air panas ke dalam bak sampai mencapai suhu yang dikehendaki, namun menjaga volume air agar tidak berubah, yaitu dengan mengurangi air bak sebanyak air panas yang ditambahkan. Pada saat air panas ditambahkan, jangan sampai mengenai ikan. Setelah ikan tenang, menghitung gerak operkulum per menit, dan melakukan pengulangan sebanyak tiga kali pengulangan. Perlakuan kenaikan suhu tersebut diteruskan sampai mencapai suhu kritis tertinggi, dan menghentikan perlakuan pada saat ikan nampak kolaps.
Percobaan kedua yaitu mengamati pengaruh penurunan suhu medium. Pengamatan ini dilakukan dengan cara memanaskan air dalam hitter, sementara menunggu air panas melakukan pengisian pada bak plastik dengan air kran dan memberi tanda tingginya air dengan boardmarker, lalu mencatat suhu air. Selanjutnya menimbang berat ikan yang akan di pakai, lalu memasukkan ke dalam bak plastik yang telah berisi air tadi. Menunggu sampai ikan nampak tenang, kemudian menghitung gerak operkulum selama satu menit dan mengulangi sampai tiga kali hitungan, kemudian mengambil rata-rata. Lalu melakukan penurunan suhu dengan cara memasukkan air es ke dalam bak sampai tercapai suhu yang dikehendaki (dengan interval 3°C). Setelah ikan tenang, menghitung gerak operkulum per menit, dan melakukan pengulangan sebanyak tiga kali pengulangan. Penurunan suhu tersebut dilakukan sampai mencapai suhu kritis terendah yaitu ketika ikan nampak kolaps.
HASIL PENELITIAN
Kel
Berat (gr)
Suhu (Kolaps)
Gerakan operkulum suhu normal


1
6,4
9°C
27°C/125

2
6
40°C
27°C/141,3

3
10,2
8°C
26°C/110

4
10,8
42°C
27°C/98,67

5
7,2
9°C
27°C/111,3

6
7,1
37,5°C
25,5°C/122,33

7
7,4
9°C
27°C/176


Gerakan operkulum menit ke-
1
2
3
4
24°C/
122
21°C/
118
18°C/
116
15°C/
102
30°C/
162
33°C/
181,7
36°C/
169,3
39°C/
202,7
23°C/
91
20°C/
87
17°C/
74
14°C/
74
30°C/
100,67
33°C/
109
36°C/
117,67
39°C/
149,31
24°C/
88,67
21°C/
70,67
18°C/
51,67
15°C/
48
28,5°C/
133
31,5°C/
139,67
34,5°C/
163,33
37,5°C/
200
24°C/
126
21°C/
100
18°C/
90
15°C/
51

Gerakan operkulum menit ke-
Rata-rata
Keterangan
5
6
12°C/
66
9°C/
31
113
Air
Dingin


171,4
Air
Panas
11°C/
56

82
Air
Dingin
42°C/
170,33

124,275
Air
Panas
12°C/
19,3
9°C/
12,9
67,04
Air
Dingin


151,66
Air
Panas
12°C/
10
9°C/
4
80
Air
Dingin

PEMBAHASAN
Hewan dapat memiliki suhu tubuh yang bervariasi atau konstan. Berdasarkan kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh, hewan dibedakan menjadi dua, yaitu poikiloterm dan homoioterm. Hewan poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya berubah seiring dengan perubahan suhu lingkungan. Sedangkan homoioterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan/tidak dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan (Isnaeni, 2006). [1]
Hewan akuatik menggunakan insang dalam proses respirasi. Insang merupakan lipatan keluar dari permukaan tubuh yang tertanam dalam air. Insang seringkali memiliki area permukaan total yang jauh lebih besar daripada area permukaan tubuh yang lain. Susunan kapiler-kapiler dalam insang memungkinkan terjadinya pertukaran lawan-arus (countercurrent exchange), yaitu pertukaran zat-zat atau panas di antara dua cairan yang mengalir ke arah yang berlawanan. Pada insang ikan, berfungsi untuk memaksimalkan efisiensi pertukaran gas karena darah mengalir berlawanan dengan air yang melewati insang. Pada setiap titik jalur yang di lewati, darah mengandung lebih sedikit oksigen daripada air yang di jumpai. Sewaktu memasuki kapiler insang, darah bertemu dengan air yang sedang menempuh perjalanan melalui insang. Meskipun banyak oksigen terlarut yang sudah hilang, air tetap memiliki PO2 yang lebih tinggi daripada darah yang datang, dan transfer oksigen pun berlangsung. Sewaktu darah meneruskan perjalanan, PO2 terus meningkat begitu pula dengan PO2 air yang di temui, karena setiap posisi yang mengikuti perjalanan darah terkait dengan posisi sebelumnya di dalam aliran air di dalam insang. Dengan demikian, terdapat gradien tekanan parsial yang mendukung difusi oksigen dari air ke darah di sepanjang kapiler (Campbell, 2010: 75-76). [2]
Respirasi eksternal sangat dipengaruhi oleh kadar oksigen  didalam lingkungan organisme yang bersangkutan. Untuk lingkungan air, kadar oksigen dipengaruhi oleh kelarutan oksigen dalam air. Kelarutan oksigen dalam cairan secara umum dipengaruhi oleh:
1.      Tekanan parsial oksigen (O2) di atas permukaan cairan. Makin tinggi tekanan O2 di atas permukaan cairan, makin tinggi pada kelarutan oksigen di dalam cairan
2.      Suhu cairan atau medium. Makin tinggi suhu cairan atau medium, makin rendah kelarutan oksigen dalam cairan atau medium
3.      Kadar garam di dalam cairan. Makin tinggi kadar garam, makin rendah kelarutan oksigen di dalam cairan (Tim Dosen Fisiologi Hewan, 2016: 12). [3]
Proses respirasi eksternal merupakan proses pengeluaran karbondioksida (CO2) dari dalam tubuh ikan, karena karbondioksida ini berupa racun atau bahan yang tidak diperlukan oleh tubuh yang harus di keluarkan dari dalam tubuh karena berbahaya bagi tubuh ikan tersebut. Proses ekspirasi ini berlangsung bersamaan dengan proses inspirasi, yaitu ketika oksigen berdifusi dengan kapiler darah, maka karbondioksida berdifusi dengan air yang ada di dalam insang sehingga karbondioksida ini akan berada di dalam air. Setelah terjadi proses difusi karbondioksida dari kapiler darah ke air, air akan dikeluarkan ke lingkungan dengan menutup operkulum, sehingga karbondioksida di keluarkan melalui insang tersebut. Sedangkan respirasi internal merupakan proses pengambilan oksigen yang terlarut di dalam air karena ikan hanya mampu mengikat oksigen yang terlarut di dalam air dan tidak mampu mengikat oksigen di udara. Ikan melakukan pertukaran gas dengan metode lawan arus (countercurrent exchange), yaitu ketika operkulum terbuka air yang membawa oksigen akan masuk ke dalam insang dan kemudian masuk ke kapiler darah, dan darah yang mengalir melalui kapiler di dalam lamela mengambil oksigen dari air. Pada pertukaran aliran lawan arus ini air dan darah mempertahankan gradien tekanan parsial agar tetap rendah sehingga oksigen berdifusi dari air ke dalam darah di sepanjang kapiler. Selanjutnya darah yang mengandung oksigen, akan mengalir ke seluruh tubuh ikan melalui arteri.
Pada praktikum ini menggunakan beberapa alat praktikum yaitu, bak plastik berfungsi sebagai wadah atau tempat meletakkan ikan, termometer berfungsi untuk mengukur kenaikan atau penurunan suhu medium, timbangan berfungsi untuk menimbang berat ikan yang digunakan, hitter berfungsi untuk memanaskan air, gelas ukur untuk mengukur jumlah air yang dibuang dan yang dimasukkan ke dalam bak plastik, pengaduk berfungsi untuk mengaduk medium saat dilakukan penambahan air panas atau air dingin agar merata, stopwatch berfungsi untuk menghitung waktu yang digunakan, boardmarker untuk menandai batas air dalam bak plastik, dan counter untuk menghitung gerak operkulum tiap menit.
Pada saat melakukan pengamatan, volume air dalam bak harus tetap dijaga agar tetap sama, hal tersebut berfungsi untuk mempertahankan oksigen yang terlarut dalam air agar tetap konstan atau tidak terdapat perubahan, karena dalam pengamatan ini yang menjadi tujuan utama yaitu oksigen yang terkandung dalam air karena pengaruh suhu air.
Fungsi dilakukan penimbangan terhadap berat ikan yang digunakan yaitu untuk mengetahui pengaruh berat ikan terhadap laju respirasi yang terjadi. Karena semakin besar ukuran ikan, maka semakin besar pula oksigen yang di butuhkan oleh ikan tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena metabolisme yang di lakukan pun semakin cepat, dan ketika laju metabolisme semakin cepat, maka hal tersebut juga berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen yang digunakan untuk melakukan proses respirasi. Begitu pula sebaliknya, jika ukuran ikan semakin kecil maka laju metabolisme semakin lambat dan oksigen yang di butuhkan pun semakin sedikit.
Pada kelompok 1, 3, 5, dan 7 melakukan perlakuan dengan pengaruh penurunan suhu (melakukan penambahan air es). Pada kelompok 1 berat ikan yang digunakan yaitu 6.4 gram, mengalami penurunan suhu dari 27°C sampai 9°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 125, 122, 118, 116, 102, 66, dan 31, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum keseluruhan yaitu 113 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 9°C. Pada kelompok 3 berat ikan yang digunakan yaitu 10.2 gram, mengalami penurunan suhu dari 27°C sampai 11°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 110, 91, 87, 74, 74, dan 56, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum keseluruhan yaitu 82 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 11°C. Pada kelompok 5 berat ikan yang digunakan yaitu 7.2 gram, mengalami penurunan suhu dari 27°C sampai 9°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 111.3, 88.6, 70.67, 51.67, 48, 19.3, dan 12.9, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum keseluruhan yaitu 67.04 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 9°C. Serta pada kelompok 7 berat ikan yang digunakan yaitu 7.4 gram, mengalami penurunan suhu dari 27°C sampai 9°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 176, 126, 100, 90, 51, 10, dan 4, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum keseluruhan yaitu 80 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 9°C. Hasil yang didapatkan semua kelompok yang menggunakan perlakuan penurunan suhu ini sesuai dengan teori Wijayanti (2011), yaitu mekanisme pengaruh suhu media secara fisik berpengaruh pada tingkat kelarutan oksigen di dalam air, semakin dingin suhu air, konsentrasi oksigen terlarut akan semakin tinggi, dan menurunkan proses metabolisme sehingga menurunkan konsumsi oksigen, dan hal tersebut menyebabkan gerakan operkulum semakin lambat. [4]
Sedangkan pada kelompok 2, 4, dan 6 melakukan perlakuan dengan pengaruh kenaikan suhu (melakukan penambahan air panas). Pada kelompok 2 berat ikan yang digunakan yaitu 6 gram, mengalami kenaikan suhu dari 27°C sampai 39°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 141.3, 162, 181.7, 169.3, dan 202.7, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum keseluruhan yaitu 171.4 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 39°C. Pada kelompok 4 berat ikan yang digunakan yaitu 10.8 gram, mengalami kenaikan suhu dari 27°C sampai 42°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 98.67, 100.67, 109, 117.67, 149.31, dan 170.33, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum keseluruhan yaitu 124.275 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 42°C. Serta pada kelompok 6 berat ikan yang digunakan yaitu 7.1 gram, mengalami kenaikan suhu dari 25.5°C sampai 37.5°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 122.33, 133, 139.67, 163.33, dan 200, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum keseluruhan yaitu 151.66 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 37.5°C. Hasil yang didapatkan semua kelompok yang menggunakan perlakuan kenaikan suhu ini sesuai dengan teori Effendi (2003), Peningkatan suhu perairan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi. Selain itu peningkatan suhu juga mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10°C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Hal tersebut dapat menyebabkan gerakan operkulum semakin cepat. [5]
Suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25 – 32oC. Secara tidak langsung pengaruh temperatur menjalar melalui kemampuan kontrolnya terhadap kelarutan gas-gas dalam air, termasuk oksigen. Dalam hal ini semakin tinggi temperatur akan semakin kecil kelarutan oksigen dalam air, sementara itu kebutuhan oksigen bagi biota akan semakin besar karena adanya peningkatan metabolisme ikan (Riyadi, 2006). [6]
Suhu air normal ikan rata-rata berdasarkan penelitian yang dilakukan adalah 28  tidak lebih dari itu dan suhu colaps ikan ketika suhu tinggi 44  dan suhu paling rendah adalah 7 . Hal tersebut sesuai dengan teori Narantaka (2012) suhu air yang ideal untuk tempat hidup ikan mas adalah terletak pada kisaran antara 25 – 30 , dan pertumbuhan akan menurun apabila suhu rendah di bawah 13. Pertumbuhan akan menurun dengan cepat dan akan berhenti makan pada suhu di bawah 5.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penyesuaian yang dilakukan hewan poikilotermik ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap oksigen yang terlarut dengan perlakuan penurunan suhu dan kenaikan suhu air, yaitu semakin tinggi suhu air maka semakin rendah oksigen yang terlarut, hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dapat menyebabkan gerakan operkulum pada ikan semakin cepat. Sebaliknya, semakin rendah suhu air maka konsentrasi oksigen terlarut akan semakin tinggi, dan menurunkan proses metabolisme sehingga menurunkan konsumsi oksigen, dan hal tersebut menyebabkan gerakan operkulum semakin lambat.
Pada praktikum ini, praktikan diminta untuk mencari sendiri bahan yang digunakan untuk praktikum yaitu ikan mas (Cyprinus carpio) dan hal tersebut dirasa cukup menyulitkan praktikan. Oleh karena itu, diharapkan untuk praktikum selanjutnya bahan-bahan yang dibutuhkan dalam proses praktikum hendaknya telah disediakan oleh pihak laboran.
DAFTAR PUSTAKA
[1]  Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta:
Kanisius.
[2] Campbell, Neil A, dkk. 2010. Biologi Edisi
kedelapan Jilid 3. Jakarta: Erlangga.
[3] Tim Dosen Fisiologi Hewan. 2016. Penuntun
                Praktikum Fisiologi Hewan. Jember:
                Universitas Jember Press.
[4] Wijayanti, Ima. 2011. Pengaruh Temperatur
                Terhadap Kondisi Anastesi Bawal Tawar
                (Colossoma macropomum) dan Lobster Tawar
                (Cherax quadricarinatus). Jurnal Penelitian.
                Vol 1: Halaman 1-15.
[5] Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi
Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Cetakan Kelima. Yogjakarta:
Kanisius.
[6] Riyadi, Agung. 2006. Kajian Kualitas Air Waduk
Tirta Shinta Di Kota Bumi Lampung. Jurnal
Hidrosfir. Vol 1: 75-8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar