Pengaruh Perbedaan Suhu Air
Terhadap Aktivitas Respirasi Hewan Poikiloterm (Cyprinus carpio)
Effect of Water Temperature Difference Against Respiratory Activities of Poikilotherm Animal (Cyprinus carpio)
Siti Rosida, 140210103019, Fisiologi Hewan Kelas A
Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember
Abstrak
Hewan
poikiloterm merupakan hewan yang suhu tubuhnya berubah seiring dengan perubahan
suhu lingkungan. Ikan mas (Cyprinus
carpio) termasuk dalam hewan poikiloterm. Hewan akuatik ini menggunakan
insang dalam proses respirasi. Insang merupakan lipatan keluar dari permukaan
tubuh yang tertanam dalam air dan terdapat penutup insang yang disebut
operkulum. Ikan mas hanya mampu mengikat oksigen yang terlarut di dalam air dan
tidak dapat mengikat oksigen di udara meskipun jumlahnya lebih melimpah. Untuk lingkungan air, kadar oksigen dipengaruhi oleh
kelarutan oksigen dalam air. Untuk lingkungan air, kadar oksigen dipengaruhi
oleh kelarutan oksigen dalam air. Kelarutan oksigen ini salah satunya dapat
dipengaruhi oleh suhu air, yaitu semakin tinggi suhu air maka semakin rendah
oksigen yang terlarut, hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan kecepatan
metabolisme dan respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan
peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dapat menyebabkan gerakan operkulum pada
ikan semakin cepat. Sebaliknya, semakin rendah suhu air maka konsentrasi oksigen
terlarut akan semakin tinggi, dan menurunkan proses metabolisme sehingga
menurunkan konsumsi oksigen, dan hal tersebut menyebabkan gerakan operkulum
semakin lambat.
Kata kunci: operkulum, poikiloterm, respirasi, temperatur
Abstract
Poikilotherm animal is an animal whose body temperature changes with environmental temperature. Gold fish (Cyprinus carpio) included in poikilotherm animals. Aquatic animals using gills in the process of respiration. Gills is folds out from the surface of the body that is embedded in the water and there is a gill cover called operculum. Goldfish are only able to bind oxygen dissolved in the water and can not bind oxygen in the air even though the amount is more abundant. For environmental water, oxygen levels are influenced by the solubility of oxygen in water. For environmental water, oxygen levels are influenced by the solubility of oxygen in water. The solubility of oxygen is one of them can be influenced by water temperature, the higher the water temperature, the lower dissolved oxygen, it can lead to increased metabolic rate and respiration of aquatic organisms and subsequently result in increased oxygen consumption, so as to cause movement of the operculum in fish faster. Conversely, the lower the water temperature, the concentration of dissolved oxygen will be higher, and lower metabolic processes resulting in lower oxygen consumption, and it causes slower motion operculum.
Keywords: operculum, poikilotherm, respiration, temperature
PENDAHULUAN
Hewan poikiloterm
merupakan hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan, jadi suhu
internal tubuh hewan ini sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan dimana dia
berada. Jadi praktikum ini dilakukan untuk mengetahui penyesuaian hewan
poikilotermik yaitu ikan mas (Cyprinus
carpio) terhadap oksigen yang terlarut di dalam air karena pengaruh suhu
air. Oleh karena itu, pada percobaan ini dilakukan perlakuan penurunan suhu dan
kenaikan suhu air.
METODE
PENELITIAN
Praktikum ini
dilaksanakan di laboratorium Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Jember pada tanggal 28 Oktober 2016. Alat yang digunakan
pada praktikum ini yaitu, bak plastik, termometer, timbangan, hitter, gelas
piala, gelas ukur, pengaduk, stopwatch, dan boardmarker. Sedangkan bahan yang
digunakan yaitu, ikan mas (Cyprinus
carpio), air, dan es batu.
Percobaan pertama yang
dilakukan yaitu mengamati pengaruh kenaikan suhu medium. Pengamatan ini
dilakukan dengan cara memanaskan air dalam hitter, sementara menunggu air panas
melakukan pengisian pada bak plastik dengan air kran dan memberi tanda
tingginya air dengan boardmarker, lalu mencatat suhu air. Selanjutnya menimbang
berat ikan yang akan di pakai, lalu memasukkan ke dalam bak plastik yang telah
berisi air tadi. Menunggu sampai ikan nampak tenang, kemudian menghitung gerak
operkulum selama satu menit dan mengulangi sampai tiga kali hitungan, kemudian
mengambil rata-rata. Lalu menaikkan suhu medium dengan interval 3°C dengan cara
menuangkan air panas ke dalam bak sampai mencapai suhu yang dikehendaki, namun
menjaga volume air agar tidak berubah, yaitu dengan mengurangi air bak sebanyak
air panas yang ditambahkan. Pada saat air panas ditambahkan, jangan sampai
mengenai ikan. Setelah ikan tenang, menghitung gerak operkulum per menit, dan
melakukan pengulangan sebanyak tiga kali pengulangan. Perlakuan kenaikan suhu
tersebut diteruskan sampai mencapai suhu kritis tertinggi, dan menghentikan
perlakuan pada saat ikan nampak kolaps.
Percobaan kedua yaitu
mengamati pengaruh penurunan suhu medium. Pengamatan ini dilakukan dengan cara
memanaskan air dalam hitter, sementara menunggu air panas melakukan pengisian pada
bak plastik dengan air kran dan memberi tanda tingginya air dengan boardmarker,
lalu mencatat suhu air. Selanjutnya menimbang berat ikan yang akan di pakai,
lalu memasukkan ke dalam bak plastik yang telah berisi air tadi. Menunggu
sampai ikan nampak tenang, kemudian menghitung gerak operkulum selama satu
menit dan mengulangi sampai tiga kali hitungan, kemudian mengambil rata-rata.
Lalu melakukan penurunan suhu dengan cara memasukkan air es ke dalam bak sampai
tercapai suhu yang dikehendaki (dengan interval 3°C). Setelah ikan tenang,
menghitung gerak operkulum per menit, dan melakukan pengulangan sebanyak tiga
kali pengulangan. Penurunan suhu tersebut dilakukan sampai mencapai suhu kritis
terendah yaitu ketika ikan nampak kolaps.
HASIL
PENELITIAN
Kel
|
Berat (gr)
|
Suhu (Kolaps)
|
Gerakan operkulum suhu normal
|
|
1
|
6,4
|
9°C
|
27°C/125
|
|
2
|
6
|
40°C
|
27°C/141,3
|
|
3
|
10,2
|
8°C
|
26°C/110
|
|
4
|
10,8
|
42°C
|
27°C/98,67
|
|
5
|
7,2
|
9°C
|
27°C/111,3
|
|
6
|
7,1
|
37,5°C
|
25,5°C/122,33
|
|
7
|
7,4
|
9°C
|
27°C/176
|
Gerakan operkulum menit ke-
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
24°C/
122
|
21°C/
118
|
18°C/
116
|
15°C/
102
|
30°C/
162
|
33°C/
181,7
|
36°C/
169,3
|
39°C/
202,7
|
23°C/
91
|
20°C/
87
|
17°C/
74
|
14°C/
74
|
30°C/
100,67
|
33°C/
109
|
36°C/
117,67
|
39°C/
149,31
|
24°C/
88,67
|
21°C/
70,67
|
18°C/
51,67
|
15°C/
48
|
28,5°C/
133
|
31,5°C/
139,67
|
34,5°C/
163,33
|
37,5°C/
200
|
24°C/
126
|
21°C/
100
|
18°C/
90
|
15°C/
51
|
Gerakan operkulum menit ke-
|
Rata-rata
|
Keterangan
|
|
5
|
6
|
||
12°C/
66
|
9°C/
31
|
113
|
Air
Dingin
|
171,4
|
Air
Panas
|
||
11°C/
56
|
82
|
Air
Dingin
|
|
42°C/
170,33
|
124,275
|
Air
Panas
|
|
12°C/
19,3
|
9°C/
12,9
|
67,04
|
Air
Dingin
|
151,66
|
Air
Panas
|
||
12°C/
10
|
9°C/
4
|
80
|
Air
Dingin
|
PEMBAHASAN
Hewan dapat memiliki
suhu tubuh yang bervariasi atau konstan. Berdasarkan kemampuan untuk
mempertahankan suhu tubuh, hewan dibedakan menjadi dua, yaitu poikiloterm dan
homoioterm. Hewan poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya berubah seiring
dengan perubahan suhu lingkungan. Sedangkan homoioterm yaitu hewan yang suhu
tubuhnya selalu konstan/tidak dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan
(Isnaeni, 2006). [1]
Hewan akuatik
menggunakan insang dalam proses respirasi. Insang merupakan lipatan keluar dari
permukaan tubuh yang tertanam dalam air. Insang seringkali memiliki area
permukaan total yang jauh lebih besar daripada area permukaan tubuh yang lain.
Susunan kapiler-kapiler dalam insang memungkinkan terjadinya pertukaran
lawan-arus (countercurrent exchange),
yaitu pertukaran zat-zat atau panas di antara dua cairan yang mengalir ke arah
yang berlawanan. Pada insang ikan, berfungsi untuk memaksimalkan efisiensi
pertukaran gas karena darah mengalir berlawanan dengan air yang melewati insang.
Pada setiap
titik jalur yang di lewati, darah mengandung lebih sedikit oksigen daripada air
yang di jumpai. Sewaktu memasuki kapiler insang, darah bertemu dengan air yang
sedang menempuh perjalanan melalui insang. Meskipun banyak oksigen terlarut yang
sudah hilang, air tetap memiliki PO2 yang lebih tinggi daripada darah
yang datang, dan transfer oksigen pun berlangsung. Sewaktu darah meneruskan
perjalanan, PO2 terus meningkat begitu pula dengan PO2
air yang di temui, karena setiap posisi yang mengikuti perjalanan darah terkait
dengan posisi sebelumnya di dalam aliran air di dalam insang. Dengan demikian,
terdapat gradien tekanan parsial yang mendukung difusi oksigen dari air ke
darah di sepanjang kapiler (Campbell, 2010: 75-76). [2]
Respirasi eksternal sangat
dipengaruhi oleh kadar oksigen didalam
lingkungan organisme yang bersangkutan. Untuk lingkungan air, kadar oksigen
dipengaruhi oleh kelarutan oksigen dalam air. Kelarutan oksigen dalam cairan
secara umum dipengaruhi oleh:
1.
Tekanan parsial oksigen (O2) di atas permukaan cairan.
Makin tinggi tekanan O2 di atas permukaan cairan, makin tinggi pada kelarutan
oksigen di dalam cairan
2.
Suhu cairan atau medium. Makin tinggi suhu cairan atau
medium, makin rendah kelarutan oksigen dalam cairan atau medium
3.
Kadar garam di dalam cairan. Makin tinggi kadar garam,
makin rendah kelarutan oksigen di dalam cairan (Tim Dosen Fisiologi Hewan, 2016:
12). [3]
Proses respirasi eksternal merupakan proses pengeluaran karbondioksida (CO2)
dari dalam tubuh ikan, karena karbondioksida ini berupa racun atau bahan yang
tidak diperlukan oleh tubuh yang harus di keluarkan dari dalam tubuh karena
berbahaya bagi tubuh ikan tersebut. Proses ekspirasi ini berlangsung bersamaan
dengan proses inspirasi, yaitu ketika oksigen berdifusi dengan kapiler darah,
maka karbondioksida berdifusi dengan air yang ada di dalam insang sehingga
karbondioksida ini akan berada di dalam air. Setelah terjadi proses difusi
karbondioksida dari kapiler darah ke air, air akan dikeluarkan ke lingkungan
dengan menutup operkulum, sehingga karbondioksida di keluarkan melalui insang
tersebut. Sedangkan respirasi internal merupakan proses
pengambilan oksigen yang terlarut di dalam air karena ikan hanya mampu mengikat
oksigen yang terlarut di dalam air dan tidak mampu mengikat oksigen di udara.
Ikan melakukan pertukaran gas dengan metode lawan arus (countercurrent exchange), yaitu ketika operkulum terbuka air yang
membawa oksigen akan masuk ke dalam insang dan kemudian masuk ke kapiler darah,
dan darah yang mengalir melalui kapiler di dalam lamela mengambil oksigen dari
air. Pada pertukaran aliran lawan arus ini air dan darah mempertahankan gradien
tekanan parsial agar tetap rendah sehingga oksigen berdifusi dari air ke dalam
darah di sepanjang kapiler. Selanjutnya darah yang mengandung oksigen, akan
mengalir ke seluruh tubuh ikan melalui arteri.
Pada praktikum ini
menggunakan beberapa alat praktikum yaitu, bak plastik berfungsi sebagai wadah
atau tempat meletakkan ikan, termometer berfungsi untuk mengukur kenaikan atau
penurunan suhu medium, timbangan berfungsi untuk menimbang berat ikan yang
digunakan, hitter berfungsi untuk memanaskan air, gelas ukur untuk mengukur
jumlah air yang dibuang dan yang dimasukkan ke dalam bak plastik, pengaduk
berfungsi untuk mengaduk medium saat dilakukan penambahan air panas atau air
dingin agar merata, stopwatch berfungsi untuk menghitung waktu yang digunakan,
boardmarker untuk menandai batas air dalam bak plastik, dan counter untuk
menghitung gerak operkulum tiap menit.
Pada saat melakukan pengamatan,
volume air dalam bak harus tetap dijaga agar tetap sama, hal tersebut berfungsi
untuk mempertahankan oksigen yang terlarut dalam air agar tetap konstan atau
tidak terdapat perubahan, karena dalam pengamatan ini yang menjadi tujuan utama
yaitu oksigen yang terkandung dalam air karena pengaruh suhu air.
Fungsi dilakukan penimbangan terhadap berat ikan yang digunakan yaitu untuk
mengetahui pengaruh berat ikan terhadap laju respirasi yang terjadi. Karena
semakin besar ukuran ikan, maka semakin besar pula oksigen yang di butuhkan
oleh ikan tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena metabolisme yang di
lakukan pun semakin cepat, dan ketika laju metabolisme semakin cepat, maka hal
tersebut juga berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen yang digunakan untuk
melakukan proses respirasi. Begitu pula sebaliknya, jika ukuran ikan semakin
kecil maka laju metabolisme semakin lambat dan oksigen yang di butuhkan pun
semakin sedikit.
Pada kelompok 1, 3, 5, dan 7 melakukan perlakuan dengan pengaruh penurunan
suhu (melakukan penambahan air es). Pada kelompok 1 berat ikan yang digunakan
yaitu 6.4 gram, mengalami penurunan suhu dari 27°C sampai 9°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 125,
122, 118, 116, 102, 66, dan 31, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum
keseluruhan yaitu 113 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 9°C. Pada kelompok 3 berat ikan yang digunakan yaitu 10.2
gram, mengalami penurunan suhu dari 27°C sampai 11°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 110,
91, 87, 74, 74, dan 56, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum keseluruhan
yaitu 82 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 11°C. Pada kelompok 5 berat ikan yang digunakan yaitu 7.2
gram, mengalami penurunan suhu dari 27°C sampai 9°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 111.3,
88.6, 70.67, 51.67, 48, 19.3, dan 12.9, didapatkan hasil rata-rata gerakan
operkulum keseluruhan yaitu 67.04 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu
9°C. Serta pada kelompok 7 berat ikan yang digunakan yaitu
7.4 gram, mengalami penurunan suhu dari 27°C sampai 9°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 176,
126, 100, 90, 51, 10, dan 4, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum
keseluruhan yaitu 80 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 9°C. Hasil yang didapatkan semua kelompok yang menggunakan perlakuan
penurunan suhu ini sesuai dengan teori Wijayanti (2011), yaitu mekanisme
pengaruh suhu media secara fisik berpengaruh pada tingkat kelarutan oksigen di
dalam air, semakin dingin suhu air, konsentrasi oksigen terlarut akan semakin
tinggi, dan menurunkan proses metabolisme sehingga menurunkan konsumsi oksigen,
dan hal tersebut menyebabkan gerakan operkulum semakin lambat. [4]
Sedangkan pada kelompok
2, 4, dan 6 melakukan perlakuan dengan pengaruh kenaikan suhu (melakukan
penambahan air panas). Pada kelompok 2
berat ikan yang digunakan yaitu 6 gram, mengalami kenaikan suhu dari 27°C sampai 39°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 141.3,
162, 181.7, 169.3, dan 202.7, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum
keseluruhan yaitu 171.4 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 39°C. Pada kelompok 4 berat ikan yang digunakan yaitu 10.8
gram, mengalami kenaikan suhu dari 27°C sampai 42°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 98.67,
100.67, 109, 117.67, 149.31, dan 170.33, didapatkan hasil rata-rata gerakan
operkulum keseluruhan yaitu 124.275 kali per menit dan mengalami kolaps pada
suhu 42°C. Serta pada kelompok 6 berat ikan yang digunakan yaitu
7.1 gram, mengalami kenaikan suhu dari 25.5°C sampai 37.5°C dengan rata-rata gerakan operkulum mulai dari 122.33,
133, 139.67, 163.33, dan 200, didapatkan hasil rata-rata gerakan operkulum
keseluruhan yaitu 151.66 kali per menit dan mengalami kolaps pada suhu 37.5°C. Hasil yang didapatkan semua kelompok yang menggunakan perlakuan
kenaikan suhu ini sesuai dengan teori Effendi (2003), Peningkatan suhu
perairan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi. Selain
itu peningkatan suhu juga mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan
respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10°C menyebabkan terjadinya peningkatan
konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Hal tersebut
dapat menyebabkan gerakan operkulum semakin cepat. [5]
Suhu yang baik untuk kehidupan ikan
di daerah tropis berkisar antara 25 – 32oC. Secara tidak langsung pengaruh
temperatur menjalar melalui kemampuan kontrolnya terhadap kelarutan gas-gas
dalam air, termasuk oksigen. Dalam hal ini semakin tinggi temperatur akan
semakin kecil kelarutan oksigen dalam air, sementara itu kebutuhan oksigen bagi
biota akan semakin besar karena adanya peningkatan metabolisme ikan (Riyadi,
2006). [6]
Suhu air normal ikan rata-rata
berdasarkan penelitian yang dilakukan adalah 28 tidak lebih
dari itu dan suhu colaps ikan ketika suhu tinggi 44 dan suhu paling rendah adalah 7 . Hal tersebut
sesuai dengan teori Narantaka (2012) suhu air yang ideal untuk tempat hidup
ikan mas adalah terletak pada kisaran antara 25 – 30 , dan pertumbuhan akan menurun apabila suhu rendah di
bawah 13. Pertumbuhan akan menurun dengan cepat dan akan berhenti makan pada
suhu di bawah 5.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Penyesuaian yang dilakukan hewan
poikilotermik ikan mas (Cyprinus carpio)
terhadap oksigen yang terlarut dengan perlakuan penurunan suhu dan kenaikan
suhu air, yaitu semakin tinggi suhu air maka semakin rendah oksigen yang
terlarut, hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan
respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen, sehingga dapat menyebabkan gerakan operkulum pada ikan semakin cepat.
Sebaliknya, semakin rendah suhu air maka konsentrasi oksigen terlarut akan
semakin tinggi, dan menurunkan proses metabolisme sehingga menurunkan konsumsi
oksigen, dan hal tersebut menyebabkan gerakan operkulum semakin lambat.
Pada praktikum ini,
praktikan diminta untuk mencari sendiri bahan yang digunakan untuk praktikum
yaitu ikan mas (Cyprinus carpio) dan
hal tersebut dirasa cukup menyulitkan praktikan. Oleh karena itu, diharapkan
untuk praktikum selanjutnya bahan-bahan yang dibutuhkan dalam proses praktikum
hendaknya telah disediakan oleh pihak laboran.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi
Hewan. Yogyakarta:
Kanisius.
[2] Campbell,
Neil A, dkk. 2010. Biologi Edisi
kedelapan Jilid
3. Jakarta:
Erlangga.
[3] Tim Dosen Fisiologi Hewan. 2016. Penuntun
Praktikum Fisiologi Hewan. Jember:
Universitas
Jember Press.
[4] Wijayanti, Ima. 2011. Pengaruh Temperatur
Terhadap Kondisi Anastesi Bawal
Tawar
(Colossoma macropomum)
dan Lobster Tawar
(Cherax quadricarinatus). Jurnal Penelitian.
Vol 1: Halaman 1-15.
[5] Effendi,
H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi
Pengelolaan Sumber
Daya dan Lingkungan
Perairan.
Cetakan Kelima. Yogjakarta:
Kanisius.
[6] Riyadi,
Agung. 2006. Kajian Kualitas Air Waduk
Tirta Shinta Di Kota Bumi Lampung. Jurnal
Hidrosfir. Vol
1: 75-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar